Mengenal Teknologi Canggih Pencegah Banjir di Jepang dan Belanda


KOTA BEKASI - Banjir sering melanda beberapa wilayah di Indonesia Agar banjir tidak menjadi bencana tahunan, ada baiknya Indonesia mengikuti negara maju berikut dalam mengantisipasi banjir.


Banjir memiliki banyak faktor, antara lain karena infrastruktur perkotaan tidak dapat menampung kebutuhan drainase, kenaikan muka air laut, bendungan atau tanggul tua, erosi daerah aliran sungai dan sebagainya.


Meski banjir merupakan bencana yang tak terduga, beberapa negara seperti Jepang dan Belanda telah mengembangkan teknologi untuk mengendalikan banjir.



G-Cans Jepang


Tokyo, dengan populasi 12,4 juta adalah salah satu kota terbesar di dunia dan masih terus berkembang.


Proyek G-Cans, julukan bagi Drainase Bawah Tanah Luar Kota atau 首都圏外郭放水路 (Shutoken Gaikaku Housui Ro, atau Channel area Discharge Outer Metropolitan Underground)


Proyek G-Cans  adalah jalur air bawah tanah dan air besar area penyimpanan yang dibangun oleh pemerintah Jepang untuk melindungi Tokyo dari banjir selama musim hujan


Adalah proyek infrastruktur bawah tanah di Kasukabe, Saitama, Jepang. Ini adalah fasilitas pengendalian banjir bawah tanah terbesar di dunia yang dibangun untuk mencegah meluapnya kanal dan sungai besar di kota itu sepanjang musim hujan dan badai.


Kanal akan menyedot air dari sungai kecil dan menengah di Tokyo Utara dan memindahkannya ke Sungai Edo yang lebih besar juga dapat menampung volume air besar dengan lebih mudah.


Ketika salah satu sungai ini meluap, air akan jatuh ke salah satu dari lima tangki silinder setinggi 70 meter yang tersebar di sepanjang saluran.


Pembangunan dimulai tahun 1992 dan selesai pada awal 2006. Drainase ini terdiri atas lima tangki berbahan beton dengan tinggi 65 m dan jari-jari 32 m yang dihubungkan oleh terowongan sepanjang 6,4 km, 50 m di bawah permukaan tanah.


Air dikumpulkan di satu ruang penampung akhir dengan tinggi 25,4 m, panjang 177m, dan lebar 78m yang ditopang oleh 59 tiang raksasa.



Masing-masing tangki ini cukup besar untuk menampung Pesawat Jet ukuran Jumbo mereka saling terhubung melalui jaringan terowongan bawah tanah.


Di ruang tersebut terdapat 78 pompa turbo 10 MW  (14.000 Tenaga Kuda) yang mampu memompa 200 ton air per detik ke Sungai Edo.
(setara kolam renang standar Olimpiade berkedalaman 25 meter)


Tampaknya ini jelas mungkin dirancang untuk mengatasi banjir paling masif di Jepang


G-Cans telah mencegah banjir masuk kota Tokyo, namun tidak bisa mencegah banyak orang, termasuk selebriti dan para pembuat film dari tempat solusi banjir.


Karena proyek G-Cans ini juga merupakan sebuah obyek wisata, dan dapat dikunjungi secara gratis dua kali sehari, dari Selasa sampai Jumat.



Aqua Drive Jepang


Aqua Drive di Jepang Jepang adalah kumpulan pulau dengan sejarah panjang banjir. Sekarang para insinyur Negeri Sakura telah mengembangkan sistem kanal dan kunci pintu air yang kompleks.


Sistem ini dibangun setelah banjir besar pada tahun 1910. Teknologi pintu air dirancang pada tahun 1924 oleh Akira Aoyama, seorang arsitek Jepang yang sebelumnya bekerja di Terusan Panama. 


Motor "aqua-drive" akan secara otomatis menggerakkan pintu air di Jepang yang rawan banjir.


Kekuatan dari aqua-drive berasal dari tekanan air yang menciptakan kekuatan untuk membuka dan menutup gerbang sesuai kebutuhan. Selain itu, motor hidrolik tidak memerlukan listrik untuk bekerja.



Deltawerken Belanda


Belanda adalah negara yang 60 persen penduduknya tinggal di bawah permukaan laut.


Belanda berjuang melawan banjir yang hampir satu milenium menimpa. Salah satu bencana banjir yang paling banyak memakan korban jiwa adalah yang terjadi pada tahun 1953.


Belanda menerapkan sistem polder yang kompleks untuk mempertahankan wilayah Belanda dari ancaman banjir dan air pasang.


Sistem ini dimulai di Belanda pada abad ke-11 yang kemudian disempurnakan dengan adanya penggunaan kincir angin pada abad ke-13.


Pada akhirnya Pemerintah Belanda membuat Proyek Delta (Delta Works/ Deltawerken), yakni pembangunan infrastruktur polder strategis untuk menguatkan pertahanan terhadap bencana banjir.


Dari tahun 1950 hingga 1997, Belanda membangun Delta Works, jaringan bendungan, pintu air, kunci, tanggul, dan penghalang gelombang badai yang canggih.


Sistem Polder adalah dataran rendah yang membentuk daerah yang dikelilingi oleh tanggul.


Pada daerah ini air buangan seperti air kotor dan air hujan dikumpulkan di suatu badan air (sungai, kanal) lalu dipompakan ke badan air yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya dipompakan ke sungai atau kanal yang bermuara ke laut.


Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari permukaan laut dan sungai.


Air dalam sistem dikendalikan sedemikian rupa sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat menyebabkan banjir, maka kelebihan air itu dipompa keluar sistem polder.



Penerapan sistem polder dapat memecahkan masalah banjir perkotaan.


Suatu subsistem-subsistem pengelolaan tata air tersebut sangat demokratis dan mandiri sehingga dapat dikembangkan dan dioperasikan oleh dan untuk masyarakat dalam hal pengendalian banjir kawasan permukiman mereka.


Proyek Deltaworks yang paling mengesankan adalah Oosterscheldekering yang merupakan bendungan dengan gerbang yang dapat dipindahkan. Setelah proyek selesai ketinggian pasang surut berkurang dari 3,40 meter menjadi 3,25 meter.



Maeslantkering Belanda


Pada 1997, Belanda membangun penahan badai dari lautan yang dinamakan Maeslantkering. Gerbang besi besar dibangun di muka sungai Niuewe Maas yang menjadi jalur masuk ke pelabuhan Rotterdam.



Maeslantkering. Dua gerbang besi raksasa digunakan untuk menutup muara sungai. Satu gerbang ini punya panjang serupa dengan tinggi menara Eifel. Sehingga, untuk menahan badai dari laut, Belanda mengerahkan dua gerbang setara menara Eifel ini.


(Red)

Lebih baru Lebih lama